Putussibau, 17 April 2018. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno mengapresiasi inisiatif terselenggaranya Lokakarya Nasional membahas masa depan orangutan yang tidak dapat dilepasliarkan. Hal ini disampaikannya saat membuka Lokakarya Nasional “The Future of Unreleaseable Orangutans” yang diselenggarakan oleh Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (Tana Bentarum) bekerjasama dengan Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang (YPOS) diSintang, Selasa (17/4). Dijelaskannya, lokakarya ini merupakan wadah bagi pakar orangutan untuk beradu gagasan bagaimana membangun rumah yang layak bagi unreleaseable orangutan. “Memberikan alternatif-alternatif solusi dalam memberikan kehidupan yang layak bagi unreleasable orangutans untuk dapat menikmati kebebasannya tanpa mengganggu keseluruhan populasi di alam” terangnya.
Lebih lanjut mantan Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial ini berpendapat bahwa kawasan konservasi termasuk Taman Nasional memiliki fungsi pengawetan keanekaragaman hayati. Contoh nyata YPOS melalui Sintang Orangutan Centre (SOC) telah melepasliarkan kembali 3 orangutan hasil rehabilitasi sekolah alamnya di DAS Mendalam kawasan TNBK. Bemby, Jolly dan Joy nama ketiga orangutan tersebut telah kembali menjadi orangutan liar setelah bertahun-tahun dipelihara oleh manusia. “Kawasan tersebut bisa dijadikan tempat pelepasliaran bagi orangutan yang telah lulus dan dianggap mampu untuk bertahan hidup di habitat alaminya”jelasnya. Namun, Wiratno berharap ada pendekatan yang sama juga terhadap orangutan yang kondisinya cacat baik fisik maupun cacat perilaku sehingga tidak mampu bertahan hidup di alam namun mereka juga menikmati kehidupan di alambebas dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. “Perlu dicari solusi-solusi jangka panjang bagi unreleasable orangutans karena tidak mungkin kita biarkan mereka terus-menerus di dalam kandang selama hidupnya” ujarnya.
Di Kalimantan Barat, diperkirakan terdapat sekitar 4.520 individu untuk sub jenis Pongo pygmaeus pygmaeus dan 15.810 individu Pongo pygmaeus wurmbii, yang tersebar di dalam dan di luar kawasan konservasi. Status dua spesies, Pongo pygmaeus pygmaeus dan Pongo pygmaeus wurmbii naik dari Endangered menjadi Critically Endangered. Naiknya status ini disebabkan adanya konversi dan kebakaran habitat serta perburuan. Untuk Kalimantan Barat, selama 10 tahun dari 2004-2014 menunjukkan angka 145 orangutan yang diperdagangkan disekitar Taman Nasional Gunung Palung yang dapat mengakibatkan orangutan tersebut tidak dapat dilepas liarkan ke alam bebas (Freund, Rahman, Knott, 2016). Selama ini beragam fasilitas yang ditawarkan oleh pusat-pusat rehabilitasi dan lembaga konservasi lama-kelamaan tidak sanggup lagi menampung orangutan yang dititipkan dan ada desakan membuat sanctuary bagi mereka. “Beberapa solusi telah ditawarkan salah satunya adalah pembuatan sanctuary orangutan agar dapat dilepasliarkan namun tidak mengganggu keseluruhan populasi” ujar Wiratno. Lokakarya ini menghadirkan para pakar dibidang perlindungan orangutan diantaranya Direktur Konservasi Keankeragaman Hayati (KKH), Forum Orangutan Indonesia (FORINA), Sintang Orangutan Centre (SOC) serta perwakilan Balai Besar Taman Nasional Betung kerihun dan Danau Sentarum.
Kunjungan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK di Kalimantan Barat ditandai aksi konservasi berupa pelepasliaran Ikan Arwana. Kawasan Taman Nasional danau sentarum habitat alamiah ikan yang memiliki harga tinggi di pasaran ini. Penangkapan ikan arwana yang masif tanpa mengindahkan prinsip kelestarian menjadi faktor utama menurunnya populasi Arwana di Danau terbesar di Kalimantan ini. Dalam keterangannya kepada media sesaat setelah acara, Dirjen KSDAE Wiratno menegaskan komitmen instansinya menjadi yang terdepan dalam menjaga keberadaan satwa yang terancam punah ini. “(acara) ini merupakan wujud nyata komitmen instansi dibawah DitjenKSDAE untuk meningkatkan populasi arwana di alam” tegasnya. Sebanyak 10 indukan ikan Arwana jenis Super Red (Scleropages formosus) dilepasliarkan kembali di Desa Vega yang masuk ke dalam zona tradisional TNDS. Indukan ini hasil sumbangan dari penangkar lokal yang berkomitmen tinggi melestarikan Ikan endemik Danau Sentarum ini.
Dalam rangkaian kunjungan ke wilayah TNDS, Wiratno juga melakukan pembinaan pegawai lingkup BBTN Bentarum di Resort Tekenang. 10 paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi yaitu Masyarakat Sebagai Subyek, Penghormatan pada HAM, Kerjasama Lintas Eselon I, Kerjasama Lintas Kementerian, Penghormatan pada Budaya dan Adat, Multilevel Leadership, Scientific Based Decision Support System, Resort (Field) Based Management, Rewards and Mentorships, dan Learning Organization. Paradigma baru ini menegaskan ketiadaan formula tunggal dalam mengelola kawasan konservasi serta fakta bahwa masyarakat yang menjadi pelaku utama konservasi. Selain memberikan arahan, Pak Wir juga akan melepas tim Eksplorasi Terpadu Biodiversitas Bukit Semujan dan studi Sosial Ekonomi masyarakatnya. Tim terdiri dari para pejabat fungsional lingkup BBTN Bentarum (PEH, Polhut dan Penyuluh) yang melakukan eksplorasi selama 10 hari di Bukit Semujan kawasan TNDS.
Mengakhiri rangkaian kunjungannya ke Kapuas Hulu, mantan Kepala Balai Besar KSDA NTT ini akan melihat program masyarakat mandiri energi berbasis Biogas di Desa Manua Sadap kawasan penyangga TNBK. Program ini merupakan kolaborasi antara BBTN Bentarum dengan International Tropical Timber Organization ( ITTO). Selama ini masyarakat desa tersebut menggunakan diesel berbahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan serta mahal. Dengan adanya biogas, saatini masyarakat telah mampu mengembangkan sumber ekonomi produktif seperti menenun, membuat dodol papaya dan keripik rebung serta kerajinan tangan.